Hiperkapnia merupakan kondisi ketika kadar karbon dioksida (CO2) dalam darah terlalu tinggi. Kondisi ini dapat disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya peradangan pada paru-paru. Gejalanya yang paling umum meliputi sulit bernapas, sakit kepala, dan sulit tidur.
Tubuh normalnya mengeluarkan karbon dioksida (CO2) saat mengembuskan napas. Namun, masalah pada sistem pernapasan dapat mengganggu pengeluaran CO2 dari dalam darah sehingga kadarnya bisa meningkat.
Karbon dioksida dalam darah yang terlalu tinggi bisa mengganggu keseimbangan asam basa (pH) dalam tubuh, yang akhirnya berdampak pada fungsi berbagai organ tubuh. Jika dibiarkan, kondisi ini bisa mengancam nyawa.
Oleh karena itu, penting untuk mengetahui penyebab hiperkapnia dan gejalanya guna mencegah kondisi yang serius.
Pada dasarnya, gejala yang terjadi pada penderita hiperkapnia berbeda-beda tergantung tingkat keparahannya. Namun, berikut ini adalah gejala awal yang kerap dialami penderita hiperkapnia:
Tidak hanya itu, hiperkapnia ringan juga bisa membuat penderitanya mengantuk di siang hari meski sudah mencukupi waktu tidurnya pada malam hari. Secara medis, kondisi ini disebut hipersomnia.
Pada kasus yang parah, hiperkapnia dapat menimbulkan beberapa gejala, seperti:
Hiperkapnia dapat mengganggu keseimbangan pH dalam tubuh, sehingga mengganggu fungsi organ atau bahkan merusak jaringannya. Apabila hal ini terjadi, orang yang mengalami hiperkapnia bisa saja mengalami kematian.
Penyebab hiperkapnia yang paling umum adalah peradangan atau kerusakan pada jaringan di organ pernapasan. Namun, kondisi lain yang memengaruhi sistem pernapasan juga bisa menyebabkan kadar karbon dioksida dalam darah tinggi. Berikut ini adalah penjelasannya:
PPOK merupakan kondisi peradangan pada paru-paru yang menyebabkan jaringannya rusak. PPOK paling umum terjadi pada perokok maupun orang yang sering terpapar asap rokok.
Seiring waktu, PPOK menyebabkan kantung udara (alveoli) pada paru-paru kehilangan kemampuan untuk meregang, sehingga membuatnya sulit menghirup oksigen dan membuang karbon dioksida (CO2).
Gangguan saraf dan otot pada organ pernapasan, misalnya akibat distrofi otot, stroke, dan amyotrophic lateral sclerosis (ALS), dapat menyebabkan penderitanya sulit bernapas dengan normal sehingga memicu penumpukan kadar CO2 dalam darah.
Penggunaan obat-obatan, seperti opioid dan benzodiazepin, secara berlebihan juga dapat menyebabkan gangguan pernapasan sehingga berisiko lebih tinggi mengalami hiperkapnia.
Beberapa faktor lain dapat pula meningkatkan risiko terjadinya hiperkapnia, seperti:
Untuk mengatasi hiperkapnia perlu disesuaikan dengan tingkat keparahan serta penyebabnya. Bila kondisinya tidak terlalu parah, dokter akan memberikan oksigen tambahan agar kadarnya dalam tubuh seimbang dengan kadar karbon dioksida.
Selain itu, dokter juga akan memberikan beberapa obat untuk meringankan gejala hiperkapnia, seperti:
Namun, bila hiperkapnia yang terjadi sudah parah, dokter akan memasang alat bantu pernapasan pada pasien, seperti ventilator, atau bahkan melakukan tindakan pembedahan guna memperbaiki saluran pernapasan yang mengalami gangguan.
Hal yang perlu diingat, hiperkapnia sebenarnya dapat dicegah bila Anda menjalani pengobatan dengan benar saat memiliki kondisi medis tertentu, terutama gangguan pada pernapasan seperti PPOK.
Tidak hanya itu, menerapkan gaya hidup sehat seperti berhenti merokok, menjaga berat badan tetap ideal, serta berolahraga secara rutin, juga dapat mengurangi risiko terjadinya hiperkapnia.
Oleh karena itu, bila Anda memiliki kondisi kesehatan yang dapat memicu terjadinya hiperkapnia, jangan ragu berkonsultasi ke dokter. Dengan begitu, hiperkapnia akan lebih cepat terdeteksi serta mendapatkan penanganan yang tepat dan sesuai dengan kondisi Anda.
Sumber : halodoc. com
Konsultasikan masalah kesehatan anda di Klinik Pelita Sehat; klinik BPJS Bogor dan klinik terfavorit keluarga. Klinik Pelita Sehat memiliki 5 cabang yang tersebar di Kota Bogor dan Kabupaten Bogor. Klinik Pelita Sehat cabang Pomad dan Klinik Pelita Sehat cabang Bangbarung telah memperoleh akreditasi dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dengan nilai akreditasi Paripurna.