Informasi Kesehatan

Apa Itu ADHD?

f9cba5a4f1676f96df197fc00086f0fd.jpg

Penyakit Asam Lambung Sebabkan Kanker Esofagus, Mitos atau Fakta?

“Penyakit asam lambung atau gastroesophageal reflux disease (GERD)…

Waspada, Kaki Kesemutan Bisa Pertanda Penyakit Ini

“Kaki kesemutan umumnya bisa hilang dengan sendirinya. Namun,…

Hati-Hati, Inilah Penyebab Pembekuan Darah yang Berakibat Fatal

“Pembekuan darah dapat terjadi karena gumpalan darah yang…

Attention Deficit Hyperactivity Disorder atau ADHD adalah istilah medis untuk gangguan mental berupa perilaku impulsif dan hiperaktif. Gejala ADHD membuat anak-anak kesulitan untuk memusatkan perhatian pada satu hal dalam satu waktu. 

Meski lebih rentan terjadi pada anak, gejala yang muncul bisa bertahan hingga usia remaja bahkan dewasa. ADHD terbagi menjadi 3 subtipe, yaitu:

  • Dominan hiperaktif-impulsif. Tipe ini biasanya muncul dengan masalah hiperaktivitas bersamaan dengan perilaku impulsif.  
  • Dominan inatentif. Tipe ini memiliki ciri sulit untuk menaruh perhatian penuh pada satu hal dalam satu waktu. Anak-anak dengan kondisi ini cenderung tidak bisa memperhatikan dengan baik. 
  • Kombinasi hiperaktif-impulsif dan inatentif. Jenis ini menunjukkan ciri hiperaktif, impulsif, dan tidak dapat memperhatikan dengan baik.

Penyebab ADHD

Para ahli masih belum mengetahui apa yang menjadi penyebab ADHD secara pasti sampai saat ini.

Namun, masalah kesehatan mental ini bisa muncul karena ketidakseimbangan senyawa kimia (neurotransmitter) dalam otak.

Ahli menduga, beberapa kondisi berikut ini bisa memicu terjadinya kondisi ini pada anak: 

1. Genetika

Sampai saat ini, genetik menjadi satu-satunya penyebab utama terjadinya ADHD. Selain itu, kondisi ini cenderung menurun dalam keluarga.

Dalam banyak kasus, para ahli menduga bahwa gen dari salah satu atau kedua orang tua merupakan faktor penting dalam berkembangnya kelainan ini. 

2. Fungsi dan struktur otak

Studi telah mengidentifikasi beberapa kemungkinan perbedaan dalam otak seseorang dengan berkembangnya ADHD dari mereka yang tidak memiliki kondisi tersebut. Penelitian tersebut menggunakan pemindaian otak.

Hasilnya, area otak tertentu mungkin lebih kecil ukurannya pada seseorang dengan ADHD, sedangkan area lainnya bisa jadi lebih besar. 

Studi lain juga menunjukkan bahwa seseorang dengan kondisi ini mungkin memiliki ketidakseimbangan dalam tingkat neurotransmitter pada otak.

Selain itu, dugaan lain menyatakan bahwa bahan kimia pada otak tersebut bisa jadi tidak berfungsi dengan baik.

3. Paparan neurotoksin selama kehamilan

Selain itu, para ahli juga menduga bahwa ada hubungan antara ADHD dengan bahan kimia neurotoksin tertentu, seperti timbal dan beberapa jenis pestisida.

Paparan timbal pada anak dapat memengaruhi tingkat pendidikan mereka. Hal tersebut berkaitan dengan kurangnya perhatian, hiperaktif, dan impulsif.

Sementara itu, paparan pestisida organofosfat juga berkaitan dengan kelainan mental tersebut. Ini adalah bahan kimia yang banyak digunakan pada rumput dan produk pertanian.

Studi menyebutkan, bahan kimia organofosfat berpotensi memberikan efek negatif pada perkembangan saraf anak. 

4. Merokok dan mengonsumsi alkohol selama kehamilan

Menjadi perokok aktif atau pasif selama kehamilan juga berkaitan dengan perilaku anak dengan kondisi ADHD.

Selain itu, anak yang terpapar alkohol serta obat-obatan ketika masih berupa janin dalam kandungan juga lebih mungkin mengalami kondisi serupa.

Faktor Risiko ADHD

Setiap anak bisa mengalami gangguan kesehatan mental ini. Namun, ada beberapa faktor risiko ADHD yang perlu diperhatikan:

1. Faktor genetik

Faktor genetik memiliki peran penting dalam perkembangan kondisi ini. Jika ada riwayat ADHD dalam keluarga, risiko untuk mengembangkan gangguan ini cenderung lebih tinggi.

2. Gangguan selama kehamilan

Faktor selama masa kehamilan, seperti paparan zat beracun, penggunaan alkohol atau obat-obatan terlarang, dan stres berlebihan pada ibu hamil, dapat meningkatkan risiko ADHD pada anak.

3. Kelahiran prematur atau BBLR

Anak yang lahir prematur atau dengan berat badan lahir rendah (BBLR) memiliki risiko lebih tinggi terhadap perkembangan ADHD.

4. Trauma kepala dan paparan timbal

Cedera kepala yang signifikan pada usia dini dapat menjadi faktor risiko bagi perkembangan ADHD.

Paparan tinggi terhadap timbal pada anak-anak juga dapat berkontribusi terhadap pengembangan ADHD.

5. Gangguan neurologis

Anak dengan riwayat gangguan neurologis atau kesehatan mental lainnya, seperti gangguan bipolar atau gangguan spektrum autisme, dapat memiliki risiko lebih tinggi mengembangkan ADHD.

6. Faktor lingkungan

Lingkungan yang tidak mendukung, stres keluarga, paparan zat-zat kimia beracun, dan kurangnya dukungan sosial dapat meningkatkan risiko ADHD.

Beberapa penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara polusi udara dan peningkatan risiko ADHD pada anak-anak.

7. Kurang gizi dan istirahat

Gizi yang tidak mencukupi atau defisiensi gizi tertentu selama masa pertumbuhan dan perkembangan anak dapat memengaruhi fungsi otak dan mempengaruhi risiko ADHD.

Kurang tidur atau gangguan tidur pada anak juga dapat memengaruhi konsentrasi dan perilaku, yang berkaitan dengan gejala ADHD.

Gejala ADHD

ADHD merupakan gangguan perkembangan saraf yang kompleks yang dapat memengaruhi kemampuan fungsi tubuh pengidapnya dalam banyak aspek kehidupan. Seperti ketika sedang sekolah, bekerja, dan bahkan pada lingkungan rumah.

Lalu, apa yang dirasakan pengidap ADHD? Gejala ADHD pada anak, remaja, dan orang dewasa bisa berbeda.

Bahkan terkadang sulit untuk mengenali gejalanya. Dokter umumnya baru dapat mendiagnosa ADHD pada anak atau ketika usia remaja, dengan usia rata-rata 7 tahun. 

Sementara itu, orang dewasa dengan kondisi ini mungkin telah menunjukkan gejala sejak usia anak atau remaja.

Hanya, orang tua kerap mengabaikan gejala yang muncul. Hal inilah yang selanjutnya menyebabkan diagnosa kerap terlambat. 

1. Gejala ADHD pada anak

Gejala utama dari gangguan kesehatan ini yaitu kurangnya perhatian, tindakan hiperaktif-impulsif, atau gabungan keduanya. Lantas, Apa ciri-ciri anak ADHD? 

  • Kesulitan untuk memperhatikan dan tetap teratur.
  • Memiliki kegelisahan yang berlebihan.
  • Mempunyai masalah dengan pengendalian diri atau perilaku impulsif. 

Sementara itu, orang tua bisa dengan mudah mengenali gejala ADHD pada anak dengan memperhatikan beberapa hal ini. 

  • Anak sulit berfokus pada aktivitas dan menjadi mudah terganggu.
  • Rentang perhatian yang rendah saat bermain atau mengerjakan tugas sekolah.
  • Anak menjadi gelisah dan kesulitan duduk diam.
  • Selalu membutuhkan gerakan atau sering berlarian.
  • Berbicara berlebihan dan menyela orang lain.

2. Gejala ADHD pada remaja

Seiring bertambahnya usia, anak dengan gangguan ini akan menunjukkan perubahan gejala.

Dalam beberapa kasus, gejala tertentu yang terlihat ketika masa kanak-kanak mungkin berkurang seiring anak beranjak remaja.

Namun, gejala baru dapat saja muncul seiring dengan perubahan tanggung jawab dan bertambahnya usia pada anak.

Remaja dengan masalah ini biasanya menunjukkan beberapa gejala berikut:

  • Kesulitan fokus pada tugas sekolah atau pekerjaan lain.
  • Sering melakukan kesalahan saat melakukan tugas atau pekerjaan.
  • Mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas, terutama tugas sekolah atau pekerjaan rumah.
  • Memiliki masalah dengan organisasi dan manajemen waktu.
  • Sering melupakan barang atau kehilangan barang pribadi.
  • Kerap menghindari tugas atau pekerjaan yang melelahkan secara mental.
  • Kesulitan menavigasi hubungan sosial dan keluarga.
  • Mengalami peningkatan frustasi dan kepekaan emosional.

Meski ADHD dapat membuat remaja terlihat “tidak dewasa”, gejala yang muncul sebenarnya hanyalah bagian dari ADHD alias tidak ada hubungannya dengan tingkat kedewasaan anak.

3. Gejala ADHD pada usia dewasa

Kebanyakan orang dengan ADHD menerima diagnosa selama masa kanak-kanak. Namun, orang tua kerap mengabaikan atau menyalahartikan gejala yang muncul. 

Selama gejala ADHD muncul pada seseorang sebelum usianya 12 tahun, ini artinya mereka masih dapat menerima diagnosa pada masa dewasa.

Pada orang dewasa, gejala ADHD bisa terlihat berbeda daripada gejala yang muncul pada masa kanak-kanak atau remaja.

Hal ini bisa terjadi karena adanya perbedaan tanggung jawab saat dewasa. Gejala ADHD pada orang dewasa dapat berupa:

  • Kesulitan menyelesaikan tugas atau pekerjaan.
  • Memiliki masalah harga diri dan kesejahteraan mental secara keseluruhan.
  • Melakukan penyalahgunaan zat, terutama alkohol.
  • Mengalami kesulitan dalam hubungan dengan pasangan, keluarga, atau rekan kerja.
  • Sering mengalami kecelakaan atau cedera.

Diagnosis Gejala ADHD

Anak yang mengalami kesulitan konsentrasi dan menunjukkan kondisi hiperaktif tidak selalu mengidap ADHD, ini juga berlaku pada remaja.

Memang benar, orang tua mungkin melihat remaja kerap tidak mendengar pembicaraan, menunjukkan tingkah laku impulsif, dan mudah teralihkan dengan distraksi. 

Namun, bukan berarti mereka mengalami ADHD. Oleh karena kondisi ini sering tidak terdiagnosis pada usia anak, penting untuk orang tua mengetahui apa saja gejala dan mengenali apa saja bedanya dengan perilaku anak yang normal. 

Guna mendapatkan diagnosis yang akurat, perlu kerja sama dari banyak pihak. 

Mulanya, dokter anak bersama dengan psikiater akan memeriksa kondisi fisik dan mental anak, keluarga, dan tenaga pengajar yang berinteraksi dengan anak.

Adanya pemeriksaan ini sebenarnya memiliki beberapa tujuan untuk: 

  • Mendapatkan diagnosis yang tepat, apakah anak memang mengidap ADHD.
  • Mengetahui seberapa parah kondisi ini.
  • Mengetahui ada atau tidaknya kondisi medis lain yang menunjukkan gejala yang sama.
  • Mendeteksi apakah anak mengalami masalah kesehatan mental lain. 

Guna membantu menegakkan diagnosis, dokter mungkin merekomendasikan beberapa pemeriksaan tambahan.

Pemeriksaan ini termasuk tes fungsi hati, tes darah, MRI pada otak, dan tes tiroid. 

Bagaimana Mengobati ADHD?

Sayangnya, anak dengan kondisi ADHD tidak bisa sembuh sepenuhnya.

Meski begitu, gabungan antara obat dan terapi bisa membantu mengurangi gejala yang muncul, sehingga pengidapnya tetap bisa beraktivitas dengan normal.

Adapun pengobatan ADHD yang bisa ditempuh:

1. Obat

Dokter akan meresepkan obat methylphenidate yang memang umum untuk mengatasi ADHD.

Obat satu ini bekerja dengan membuat kadar senyawa kimia pada otak menjadi lebih seimbang. Dengan demikian, gejala yang muncul bisa berkurang.

Obat methylphenidate terbilang aman untuk anak, tetapi dokter tetap memantau kondisi anak untuk tindakan antisipasi akan efek samping yang mungkin terjadi. Misalnya, kelainan pada organ jantung. 

Jika nantinya anak mengalami efek samping atau ada risiko tinggi untuk mengalami hal tersebut, maka dokter bisa meresepkan jenis obat lainnya, yaitu obat amitriptyline, atomoxetine, dan obat yang masuk dalam kelompok agonis alfa, seperti clonidine.

2. Psikoterapi

Metode pengobatan lainnya adalah psikoterapi. Tidak hanya mengobati kondisi ini, terapi juga bermanfaat untuk mengobati masalah kejiwaan lain yang bisa muncul dengan ADHD, misalnya depresi

 Jenis terapi yang bisa menjadi pertimbangan, yaitu: 

3. Cognitive behavioural therapy (CBT) atau terapi perilaku kognitif

Terapi perilaku kognitif memiliki tujuan utama untuk membantu pengidap sehingga dapat mengubah perilaku dan pola pikir mereka ketika sedang berada pada kondisi atau permasalahan tertentu. 

4. Terapi psikoedukasi

Selanjutnya, terapi psikoedukasi. Ketika menjalani terapi ini, psikiater akan mengajak pengidap untuk bercerita. Misalnya, kesulitan pengidap dalam menghadapi kondisi tersebut.

Melalui terapi ini, psikiater berharap pengidap bisa mendapatkan cara terbaik untuk mengatasi gejala yang muncul.

5. Terapi interaksi sosial

Kemudian, terapi interaksi sosial yang bisa membantu pengidap untuk mengetahui perilaku sosial yang pas untuk suatu kondisi. 

Orang tua, pengasuh, keluarga, dan guru tentu memerlukan arahan sehingga bisa memberikan pendampingan pada pengidap.

Inilah sebabnya, orang-orang yang terlibat dengan pengidap juga perlu memperoleh pelatihan khusus.

Biasanya, pelatihan akan memberikan beberapa materi berikut:

  • Cara tepat memberikan pujian sebagai bentuk dukungan untuk anak.
  • Solusi ketika anak menunjukkan perilaku buruk.
  • Memberikan arahan kegiatan anak yang sesuai dengan kapabilitasnya. 

Sementara itu, guna membantu anak mengontrol gejala yang muncul, orang tua juga bisa secara perlahan disiplin membiasakan pola hidup sehat, dengan cara:

  • Menerapkan pola makan sehat dengan asupan gizi seimbang.
  • Memastikan bahwa anak mendapatkan tidur yang cukup. Melalui artikel Inilah Hubungan Pola Tidur dengan ADHD, orang tua bisa mengetahui mengapa anak perlu mendapat cukup istirahat.
  • Batasi waktu menonton tivi, main game, dan berinteraksi dengan gawai.
  • Ajak anak untuk melakukan aktivitas fisik setidaknya selama 60 menit setiap hari.

Meski tidak bisa sembuh, diagnosis yang akurat dan pengobatan yang pas sesegera mungkin bisa membantu pengidap bisa beradaptasi dengan keadaan dirinya dan melakukan aktivitas seperti biasanya.

Namun, orang tua juga perlu memahami bahwa pengobatan ADHD perlu adanya komitmen dan persiapan yang matang dari banyak aspek. Mulai dari finansial, waktu, hingga emosi. 

Komplikasi ADHD

ADHD yang tidak segera mendapat penanganan dapat mempersulit kehidupan anak dan remaja. Mereka bisa mengalami beberapa kondisi berikut:

  • Anak sering kesulitan berada dalam kelas, sehingga menyebabkan kegagalan akademik serta penilaian oleh anak lain dan orang dewasa.
  • Cenderung mengalami lebih banyak kecelakaan atau cedera daripada anak-anak yang tidak mengalaminya.
  • Memiliki harga diri yang buruk.
  • Mengalami kesulitan berinteraksi dan penerimaan dalam pertemanan sebaya dan orang dewasa.
  • Berada pada peningkatan risiko penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan serta perilaku nakal lainnya. 

Tidak hanya itu, kondisi ADHD juga bisa membuat kehidupan orang dewasa menjadi lebih sulit, seperti:

  • Prestasi akademik dan karir yang buruk.
  • Menjadi pengangguran.
  • Mengalami masalah dengan keuangan.
  • Kerap bermasalah dengan hukum.
  • Kecanduan alkohol dan penyalahgunaan zat lainnya.
  • Sering mengalami kecelakaan kendaraan dan lainnya.
  • Hubungan yang tidak stabil, baik dengan pasangan, teman, dan keluarga.
  • Kesehatan fisik dan mental yang buruk.
  • Citra diri yang buruk.
  • Memiliki upaya bunuh diri.

Pencegahan ADHD

Sayangnya, tidak ada pencegahan spesifik yang bisa dilakukan terhadap kondisi ADHD.

Namun, risiko gangguan mental ini bisa orang tua kurangi, Mulailah sedini mungkin dari masa kehamilan.

Ibu hamil sebaiknya tidak merokok, tidak mengonsumsi minuman beralkohol dan obat-obatan terlarang, sera sebisa mungkin menjauhkan anak dari asap rokok serta paparan zat beracun yang bisa membahayakan kesehatan.

Cara lainnya, yaitu: 

  • Konsumsi makanan bergizi dan seimbang yang dapat berpengaruh pada perkembangan otak dan fungsi kognitif. Hindari makanan tinggi gula dan junk food serta pastikan untuk menyertakan buah-buahan, sayuran, biji-bijian, dan protein sehat dalam makanan sehari-hari.
  • Meski sedang hamil, ibu tetap perlu bergerak aktif. Olahraga ringan terbukti bisa mencegah komplikasi selama kehamilan.
  • Kurangi stres dengan cara melakukan hobi, berolahraga ringan atau berlatih teknik relaksasi.

Kapan Harus ke Dokter?

Segera lakukan periksakan sang buah hati ke dokter apabila orang tua melihat anak menunjukkan tanda dan gejala kondisi ini.

Ini termasuk kesulitan berfokus, memperhatikan, dan tingkah laku impulsif dan hiperaktif. 

Orang tua mungkin akan mengalami kesulitan untuk membedakan gejala ADHD dengan tingkah laku normal pada anak.

Inilah sebabnya, diskusi dengan dokter atau psikolog anak menjadi hal yang wajib jika melihat anak menunjukkan tingkah laku yang tidak biasa.

 

sumber: Halodoc . . com

Konsultasikan masalah kesehatan Anda di Klinik Pelita Sehat; klinik BPJS Bogor dan klinik terfavorit keluarga. Klinik Pelita Sehat memiliki 5 cabang yang tersebar di Kota Bogor dan Kabupaten Bogor. Klinik Pelita Sehat cabang Pomad dan Klinik Pelita Sehat cabang Bangbarung telah memperoleh akreditasi dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dengan nilai akreditasi Paripurna