Attention Deficit Hyperactivity Disorder atau ADHD adalah istilah medis untuk gangguan mental berupa perilaku impulsif dan hiperaktif. Gejala ADHD membuat anak-anak kesulitan untuk memusatkan perhatian pada satu hal dalam satu waktu.
Meski lebih rentan terjadi pada anak, gejala yang muncul bisa bertahan hingga usia remaja bahkan dewasa. ADHD terbagi menjadi 3 subtipe, yaitu:
Para ahli masih belum mengetahui apa yang menjadi penyebab ADHD secara pasti sampai saat ini.
Namun, masalah kesehatan mental ini bisa muncul karena ketidakseimbangan senyawa kimia (neurotransmitter) dalam otak.
Ahli menduga, beberapa kondisi berikut ini bisa memicu terjadinya kondisi ini pada anak:
Sampai saat ini, genetik menjadi satu-satunya penyebab utama terjadinya ADHD. Selain itu, kondisi ini cenderung menurun dalam keluarga.
Dalam banyak kasus, para ahli menduga bahwa gen dari salah satu atau kedua orang tua merupakan faktor penting dalam berkembangnya kelainan ini.
Studi telah mengidentifikasi beberapa kemungkinan perbedaan dalam otak seseorang dengan berkembangnya ADHD dari mereka yang tidak memiliki kondisi tersebut. Penelitian tersebut menggunakan pemindaian otak.
Hasilnya, area otak tertentu mungkin lebih kecil ukurannya pada seseorang dengan ADHD, sedangkan area lainnya bisa jadi lebih besar.
Studi lain juga menunjukkan bahwa seseorang dengan kondisi ini mungkin memiliki ketidakseimbangan dalam tingkat neurotransmitter pada otak.
Selain itu, dugaan lain menyatakan bahwa bahan kimia pada otak tersebut bisa jadi tidak berfungsi dengan baik.
Selain itu, para ahli juga menduga bahwa ada hubungan antara ADHD dengan bahan kimia neurotoksin tertentu, seperti timbal dan beberapa jenis pestisida.
Paparan timbal pada anak dapat memengaruhi tingkat pendidikan mereka. Hal tersebut berkaitan dengan kurangnya perhatian, hiperaktif, dan impulsif.
Sementara itu, paparan pestisida organofosfat juga berkaitan dengan kelainan mental tersebut. Ini adalah bahan kimia yang banyak digunakan pada rumput dan produk pertanian.
Studi menyebutkan, bahan kimia organofosfat berpotensi memberikan efek negatif pada perkembangan saraf anak.
Menjadi perokok aktif atau pasif selama kehamilan juga berkaitan dengan perilaku anak dengan kondisi ADHD.
Selain itu, anak yang terpapar alkohol serta obat-obatan ketika masih berupa janin dalam kandungan juga lebih mungkin mengalami kondisi serupa.
Setiap anak bisa mengalami gangguan kesehatan mental ini. Namun, ada beberapa faktor risiko ADHD yang perlu diperhatikan:
Faktor genetik memiliki peran penting dalam perkembangan kondisi ini. Jika ada riwayat ADHD dalam keluarga, risiko untuk mengembangkan gangguan ini cenderung lebih tinggi.
Faktor selama masa kehamilan, seperti paparan zat beracun, penggunaan alkohol atau obat-obatan terlarang, dan stres berlebihan pada ibu hamil, dapat meningkatkan risiko ADHD pada anak.
Anak yang lahir prematur atau dengan berat badan lahir rendah (BBLR) memiliki risiko lebih tinggi terhadap perkembangan ADHD.
Cedera kepala yang signifikan pada usia dini dapat menjadi faktor risiko bagi perkembangan ADHD.
Paparan tinggi terhadap timbal pada anak-anak juga dapat berkontribusi terhadap pengembangan ADHD.
Anak dengan riwayat gangguan neurologis atau kesehatan mental lainnya, seperti gangguan bipolar atau gangguan spektrum autisme, dapat memiliki risiko lebih tinggi mengembangkan ADHD.
Lingkungan yang tidak mendukung, stres keluarga, paparan zat-zat kimia beracun, dan kurangnya dukungan sosial dapat meningkatkan risiko ADHD.
Beberapa penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara polusi udara dan peningkatan risiko ADHD pada anak-anak.
Gizi yang tidak mencukupi atau defisiensi gizi tertentu selama masa pertumbuhan dan perkembangan anak dapat memengaruhi fungsi otak dan mempengaruhi risiko ADHD.
Kurang tidur atau gangguan tidur pada anak juga dapat memengaruhi konsentrasi dan perilaku, yang berkaitan dengan gejala ADHD.
ADHD merupakan gangguan perkembangan saraf yang kompleks yang dapat memengaruhi kemampuan fungsi tubuh pengidapnya dalam banyak aspek kehidupan. Seperti ketika sedang sekolah, bekerja, dan bahkan pada lingkungan rumah.
Lalu, apa yang dirasakan pengidap ADHD? Gejala ADHD pada anak, remaja, dan orang dewasa bisa berbeda.
Bahkan terkadang sulit untuk mengenali gejalanya. Dokter umumnya baru dapat mendiagnosa ADHD pada anak atau ketika usia remaja, dengan usia rata-rata 7 tahun.
Sementara itu, orang dewasa dengan kondisi ini mungkin telah menunjukkan gejala sejak usia anak atau remaja.
Hanya, orang tua kerap mengabaikan gejala yang muncul. Hal inilah yang selanjutnya menyebabkan diagnosa kerap terlambat.
Gejala utama dari gangguan kesehatan ini yaitu kurangnya perhatian, tindakan hiperaktif-impulsif, atau gabungan keduanya. Lantas, Apa ciri-ciri anak ADHD?
Sementara itu, orang tua bisa dengan mudah mengenali gejala ADHD pada anak dengan memperhatikan beberapa hal ini.
Seiring bertambahnya usia, anak dengan gangguan ini akan menunjukkan perubahan gejala.
Dalam beberapa kasus, gejala tertentu yang terlihat ketika masa kanak-kanak mungkin berkurang seiring anak beranjak remaja.
Namun, gejala baru dapat saja muncul seiring dengan perubahan tanggung jawab dan bertambahnya usia pada anak.
Remaja dengan masalah ini biasanya menunjukkan beberapa gejala berikut:
Meski ADHD dapat membuat remaja terlihat “tidak dewasa”, gejala yang muncul sebenarnya hanyalah bagian dari ADHD alias tidak ada hubungannya dengan tingkat kedewasaan anak.
Kebanyakan orang dengan ADHD menerima diagnosa selama masa kanak-kanak. Namun, orang tua kerap mengabaikan atau menyalahartikan gejala yang muncul.
Selama gejala ADHD muncul pada seseorang sebelum usianya 12 tahun, ini artinya mereka masih dapat menerima diagnosa pada masa dewasa.
Pada orang dewasa, gejala ADHD bisa terlihat berbeda daripada gejala yang muncul pada masa kanak-kanak atau remaja.
Hal ini bisa terjadi karena adanya perbedaan tanggung jawab saat dewasa. Gejala ADHD pada orang dewasa dapat berupa:
Anak yang mengalami kesulitan konsentrasi dan menunjukkan kondisi hiperaktif tidak selalu mengidap ADHD, ini juga berlaku pada remaja.
Memang benar, orang tua mungkin melihat remaja kerap tidak mendengar pembicaraan, menunjukkan tingkah laku impulsif, dan mudah teralihkan dengan distraksi.
Namun, bukan berarti mereka mengalami ADHD. Oleh karena kondisi ini sering tidak terdiagnosis pada usia anak, penting untuk orang tua mengetahui apa saja gejala dan mengenali apa saja bedanya dengan perilaku anak yang normal.
Guna mendapatkan diagnosis yang akurat, perlu kerja sama dari banyak pihak.
Mulanya, dokter anak bersama dengan psikiater akan memeriksa kondisi fisik dan mental anak, keluarga, dan tenaga pengajar yang berinteraksi dengan anak.
Adanya pemeriksaan ini sebenarnya memiliki beberapa tujuan untuk:
Guna membantu menegakkan diagnosis, dokter mungkin merekomendasikan beberapa pemeriksaan tambahan.
Pemeriksaan ini termasuk tes fungsi hati, tes darah, MRI pada otak, dan tes tiroid.
Sayangnya, anak dengan kondisi ADHD tidak bisa sembuh sepenuhnya.
Meski begitu, gabungan antara obat dan terapi bisa membantu mengurangi gejala yang muncul, sehingga pengidapnya tetap bisa beraktivitas dengan normal.
Adapun pengobatan ADHD yang bisa ditempuh:
Dokter akan meresepkan obat methylphenidate yang memang umum untuk mengatasi ADHD.
Obat satu ini bekerja dengan membuat kadar senyawa kimia pada otak menjadi lebih seimbang. Dengan demikian, gejala yang muncul bisa berkurang.
Obat methylphenidate terbilang aman untuk anak, tetapi dokter tetap memantau kondisi anak untuk tindakan antisipasi akan efek samping yang mungkin terjadi. Misalnya, kelainan pada organ jantung.
Jika nantinya anak mengalami efek samping atau ada risiko tinggi untuk mengalami hal tersebut, maka dokter bisa meresepkan jenis obat lainnya, yaitu obat amitriptyline, atomoxetine, dan obat yang masuk dalam kelompok agonis alfa, seperti clonidine.
Metode pengobatan lainnya adalah psikoterapi. Tidak hanya mengobati kondisi ini, terapi juga bermanfaat untuk mengobati masalah kejiwaan lain yang bisa muncul dengan ADHD, misalnya depresi
Jenis terapi yang bisa menjadi pertimbangan, yaitu:
Terapi perilaku kognitif memiliki tujuan utama untuk membantu pengidap sehingga dapat mengubah perilaku dan pola pikir mereka ketika sedang berada pada kondisi atau permasalahan tertentu.
Selanjutnya, terapi psikoedukasi. Ketika menjalani terapi ini, psikiater akan mengajak pengidap untuk bercerita. Misalnya, kesulitan pengidap dalam menghadapi kondisi tersebut.
Melalui terapi ini, psikiater berharap pengidap bisa mendapatkan cara terbaik untuk mengatasi gejala yang muncul.
Kemudian, terapi interaksi sosial yang bisa membantu pengidap untuk mengetahui perilaku sosial yang pas untuk suatu kondisi.
Orang tua, pengasuh, keluarga, dan guru tentu memerlukan arahan sehingga bisa memberikan pendampingan pada pengidap.
Inilah sebabnya, orang-orang yang terlibat dengan pengidap juga perlu memperoleh pelatihan khusus.
Biasanya, pelatihan akan memberikan beberapa materi berikut:
Sementara itu, guna membantu anak mengontrol gejala yang muncul, orang tua juga bisa secara perlahan disiplin membiasakan pola hidup sehat, dengan cara:
Meski tidak bisa sembuh, diagnosis yang akurat dan pengobatan yang pas sesegera mungkin bisa membantu pengidap bisa beradaptasi dengan keadaan dirinya dan melakukan aktivitas seperti biasanya.
Namun, orang tua juga perlu memahami bahwa pengobatan ADHD perlu adanya komitmen dan persiapan yang matang dari banyak aspek. Mulai dari finansial, waktu, hingga emosi.
ADHD yang tidak segera mendapat penanganan dapat mempersulit kehidupan anak dan remaja. Mereka bisa mengalami beberapa kondisi berikut:
Tidak hanya itu, kondisi ADHD juga bisa membuat kehidupan orang dewasa menjadi lebih sulit, seperti:
Sayangnya, tidak ada pencegahan spesifik yang bisa dilakukan terhadap kondisi ADHD.
Namun, risiko gangguan mental ini bisa orang tua kurangi, Mulailah sedini mungkin dari masa kehamilan.
Ibu hamil sebaiknya tidak merokok, tidak mengonsumsi minuman beralkohol dan obat-obatan terlarang, sera sebisa mungkin menjauhkan anak dari asap rokok serta paparan zat beracun yang bisa membahayakan kesehatan.
Cara lainnya, yaitu:
Segera lakukan periksakan sang buah hati ke dokter apabila orang tua melihat anak menunjukkan tanda dan gejala kondisi ini.
Ini termasuk kesulitan berfokus, memperhatikan, dan tingkah laku impulsif dan hiperaktif.
Orang tua mungkin akan mengalami kesulitan untuk membedakan gejala ADHD dengan tingkah laku normal pada anak.
Inilah sebabnya, diskusi dengan dokter atau psikolog anak menjadi hal yang wajib jika melihat anak menunjukkan tingkah laku yang tidak biasa.
sumber: Halodoc . . com
Konsultasikan masalah kesehatan Anda di Klinik Pelita Sehat; klinik BPJS Bogor dan klinik terfavorit keluarga. Klinik Pelita Sehat memiliki 5 cabang yang tersebar di Kota Bogor dan Kabupaten Bogor. Klinik Pelita Sehat cabang Pomad dan Klinik Pelita Sehat cabang Bangbarung telah memperoleh akreditasi dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dengan nilai akreditasi Paripurna